Pendidikan Akhlak Menurut Syekh
al-Zarnuji dalam Kitab Ta’limul Muta’allim
Inpasonline.com-Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi, diperlukanlah pengembangan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengaruh positif dan negatif. Hal
ini karena pendidikan sebagai bagian dari peradaban manusia, mau tidak mau
pasti akan mengalami perubahan dan perkembangan. Akan tetapi realita pendidikan
akhir-akhir ini menunjukkan perubahan dan pemandangan yang kontras, dimana guru
hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot, dan siswa sebagai “penerima”
layaknya robot pula. Dan akhirnya menjadi suatu tatanan “mekanis” bagai mesin.
Bahkan selain itu masalah akhlak juga kurang diperhatikan, baik akhlak terhadap
guru, akhlak terhadap sesama murid. Maka jangan heran ketika Az-Zarnuji
mengatakan: banyak dari sebagian pelajar yang sebenarnya mereka sudah
bersungguh-sungguh menuntut ilmu, namun mereka tidak merasakan nikmatnya ilmu,
hal ini disebabkan mereka meninggalkan atau kurang memperhatikan etika (akhlak)
dalam menuntut ilmu.[2]
Oleh sebab itu, kondisi pendidikan
yang demikian mendorong kita untuk membangun cara pandang (worldview)[3]
baru dalam pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada ilmu pengetahuan (knowledge
oriented) dan keterampilan (skill oriented), namun juga berorientasi
pada nilai (values oriented).[4]
Karena proses pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai akhlak (kejujuran,
keharmonisan, dan saling menghargai) adalah hal yang tidak bisa dikesampingkan,
bahkan dielakkan.
Proses pendidikan yang mengedepankan
akhlak atau nilai-nilai etik sebagaimana diatas rupanya mendapat perhatian
serius oleh tokoh pendidikan abad ke-12 M, yaitu Az-Zarnuji.[5]
Dia telah menyusun kitab Ta’limul Muta’allim yang mana didalamnya sarat dengan
akhlak atau nilai-nilai etik dan estetik dalam proses pembelajaran. Kitab ini
telah dijadikan referensi bagi santri di sebagian besar pondok pesantren di
nusantara. Adapun nilai akhlak tersebut tampak pada pemikiran Az-Zarnuji
tentang relasi dan interaksi guru dengan murid, murid dengan murid, bahkan
murid dengan lingkungan sekitar.
Pendidikan Akhlak dalam Ta’lim
al-Muta’allim
Kitab Ta’lim al-Muta’allim,
merupakan sebuah kitab panduan pembelajaran (belajar dan mengajar) terutama
bagi para murid, berisi muqaddimah dan mempunyai 13 fasl (bagian).[6]
Dalam muqaddimahnya, Az-Zarnuji mengatakan bahwa pada zamannya, banyak sekali
para penuntut ilmu (thalibu al-ilmi) atau murid yang tekun belajar akan tetapi
tidak mampu untuk memetik manfaat dari ilmu tersebut (mengamalkan dan
menyebarkannya). Menurutnya hal ini terjadi karena peserta didik sudah
meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap penuntut ilmu.
Adapun didalamnya terdapat beberapa
konsep pendidikan yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan sebagai transfer
nilai (value) dan bukan hanya merupakan transfer ilmu pengetahuan (intellectual)
dan keterampilan (skill). Diantara konsep transfer nilai tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Akhlak
merupakan sarana utama dalam pendidikan
Kitab Ta’limul Muta’allim, merupakan
panduan pembelajaran (belajar mengajar) terutama bagi murid. Tertulis dalam
muqaddimah, Az-Zarnuji mengatakan bahwa pada zamananya, banyak sekali para
penuntut ilmu (murid) yang tekun belajar namun tidak bisa mendapatkan memetik
manfaat dari ilmu tersebut (mengamalkan serta menyebarkannya). Hal ini terjadi karena
peserta didik meninggalkan persyaratan yang harus dipenuhi,[7]
sehingga mereka tidak berhasil. Az-Zarnuji dalam muqaddimahnya mengatakan bahwa
kitab ini disusun untuk meluruskan tata cara dalam menuntut ilmu. Adapun dari
fasl 1 sampai 13, Az-Zarnuji memberikan solusi tentang cara-cara menuntut ilmu.
Menurut Az-Zarnuji pendidikan akhlak
adalah menanamkan akhlak mulia serta manjauhkan dari akhlak yang tercela dan
mengetahui gerak gerik hati yang dibutuhkan dalam setiap keadaan, ini wajib
diketahui seperti tawakkal, al-inabah, taqwa, ridha, dan lain-lain.[8]
Akhlak adalah sifat-sifat manusia untuk bermu’amalah dengan orang lain.[9]
Sebagaimana yang disebutkaan Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dinukil dari
Al-Qurtubi bahwa akhlak adalah sifat-sifat manusia untuk bermu’amalah dengan
orang lain, baik sifat terpuji maupun sifat tercela.[10]
Az-Zarnuji juga berpendapat bahwa ilmu itu memuliakan pemiliknya, karena ilmu
adalah perantara kebaikan dan ketaqwaan untuk mengangkat derajat disamping
penciptanya dan kebahagiaan yang abadi, ilmu sebagai perantara untuk mengetahui
sifat-sifat manusia seperti: takabbur[11],
tawadhu[12],
lemah lembut, ‘iffah[13],
isrof (berlebih-lebihan), bakhil (pelit), jubn (pengecut), maka dengan ilmu
tersebut manusia akan bisa membedakan mana yang mulia dan mana yang tercela.[14]
Kemudian belajar menurut Az-Zarnuji
adalah bernilai ibadah, dan dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh
kebahagiaan duniawi dan sejalan dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan,
yaitu menekankan bahwa proses belajar mengajar diharapkan mampu menghasilkan
ilmu yang berupa kemampuan pada tiga ranah, yang mana menjadi tujuan pendidikan
atau pembelajaran, baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dan
ukhrawi menekankan agar belajar adalah proses untuk mendapatkan ilmu, hendaknya
diniati untuk beribadah. Artinya, belajar sebagai manifestasi perwujudan rasa
syukur manusia sebagai seorang hamba kepada Allah Swt. yang telah mengaruniakan
kepada kita akal.[15]
Lebih dari itu, hasil dari proses
belajar mengajar yang berupa ilmu (kemampuan dalam tiga ranah tersebut),
hendaknya dapat diamalkan manusia, karena buah ilmu adalah amal. Pengamalan
serta permanfaatan ilmu hendaknya selalu dalam koridor keridhaan Allah Swt.
yakni untuk mengembangkan serta melestarikan agama Islam dan menghilangkan
kejahilan, baik pada dirinya maupun orang lain. Inilah buah dari ilmu yang
menurut Az-Zarnuji akan dapat menghantarkan kebahagiaan hidup di dunia maupun
akhirat kelak.
2.
Guru
Guru dianggap sebagai unsur yang
mendasar dalam pembelajaran, dengan segala keteguhan, kesungguhan, dan segala
kesabarannya akan sangat berpengaruh pada pendidikan, karena pendidikan
merupakan tanggung jawab yang dipikul oleh seorang guru sebagai amanah yang
akan dipertanggungjawabkan di depan Allah kelak, maka dengan menjalankan amanah
tersebut harus sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh Allah Swt.[16]
Dalam hal ini, Az-Zarnuji mengatakan
bahwa para guru harus memiliki sifat yang terpuji. Para guru di syaratkan
memiliki sifat wara’[17],
memiliki kompetensi atau kemampuan dibanding muridnya, dan lebih tua usianya
dari pada muridnya. Kemudian disamping itu, Az-Zarnuji juga menekankan pada
kedewasaan, baik kedewasaan ilmu ataupun umur bagi seorang guru tersebut. Hal
ini senada dengan pernyataan Abu Hammad Hanifah ketika bertemu dengan Hammad,
seraya berkata: “Aku dapati Hammad sudah tua, berwibawa, santun, dan penyabar.
Maka aku menetap disampingnya, dan akupun tumbuh dan berkembang”.[18]
Para ilmuwan, sastrwan, dan filosof,
telah memberikan nilai yang terhormat dan menempatkan posisi strategis bagi
para pelaku pendidikan. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali yang kemudian
dikutip oleh M. Athiyah Al-Abrasyi: “Siapa yang memperoleh ilmu pengetahuan dan
yang mengambil daya guna untuk kepentingan dirinya, kemudian mentransformasikan
untuk orang lain, maka orang itu ibarat matahari yang bersinar untuk dirinya
dan orang lain”.[19]
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim,
pertama guru berperan membersihakan, mengarahkan, dan mengiringi hati nurani
siswa untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari ridha-Nya. Dengan kata
lain dapat disimpulkan bahwa ini adalah dimensi sufistik. Kedua adalah peran
pragmatik. Dalam artian, guru berperan menanamkan nilai-nilai pengetahuan dan
keterampilan kepada muridnya. Selain itu, guru juga memilihkan ilmu apa yang
harus didahulukan dan diakhirkan, beserta ukuran-ukuran yang harus ditempuh
dalam mempelajarinya.[20]
3.
Peserta
Didik
Unsur selanjutnya yang memegang
peranan penting dalam pendidikan adalah anak didik. Anak didik adalah manusia
yang akan dibentuk oleh dunia pendidikan. Ia merupakan objek sekaligus subjek,
yang mana tanpa keberadaannya mustahil proses pendidikan akan berjalan.
Dalam hal ini Az-Zarnuji lebih mengaksentuasikan pada kepribadian
atau sikap dan moral yang mulia, yang sangat diperlukan oleh para pelajar.
Adapun kepribadian yang harus dimiliki tersebut sebagaimana dikatakan
Az-Zarnuji, adalah setiap murid harus mempunyai sifat-sifat tawadhu’, ‘iffah,
yaitu sifat yang menunjukkan harga diri yang menyebabkan seseorang terhindar
dari perbuatan yang tidak pantas dilakukan, kemudian sifat tabah, sabar, wara’
(menjauhkan diri dari dosa, dari maksiat, dari perkara syubhat), serta
tawakkal, yaitu menyerahkan segala perkara hanya kepada Allah.[21]
Kemudian Az-Zarnuji juga menekankan
agar dalam menuntut ilmu, setiap murid hendaknya mencintai ilmu, hormat kepada
guru, keluarganya, sesama penuntut ilmu, sayang kepada kitab dan menjaganya
dengan baik, bersungguh-sungguh dalam belajar dengan memanfaatkan waktu, tekun
dalam menuntut ilmu serta mempunyai cita-cita tinggi dalam menuntut ilmu
pengetahuan. [22]
hal ini senada dengan pernyataan Imam Al-Gahazali dalam kitab Ihya Ulumuddin,
yaitu: “kewajiban setiap guru ialah terlebih dahulu membersihkan jiwa dan
akhlak yang tercela serta sifat-sifat yang hina, mempersempit kesibukan dengan
keduniawiaan.[23]
4.
Kurikulum
Selain guru dan murid, faktor
penting dalam pendidikan adalah faktor kurikulum. Karena kurikulum merupakan
faktor yang sangat penting dalam proses pendidikan di suatu lembaga pendidikan.
Mata pelajaran yang harus diketahui dan dihayati oleh anak didik harus
ditetapkan dalam kurikulum. Materi pelajaran yang akan disajikan kepada anak
didik, haruslah dijabarkan terlebih dahulu dalam suatu kurikulum. Dengan demikian,
dalam kurikulum akan tergambar dengan jelas dan terencana sebagai tujuan
pencapaian target pembelajaran.[24]
Dalam masalah kurikulum, Az-Zarnuji
tidak menjelaskan secara terperinci. Namun dalam kitab Ta’limul Muta’allim
dijelaskan tentang pelajaran yang harus dipelajari dan urutan ilmu yang
dipelajari. Secara filosofis, Az-Zarnuji memberikan uraian-uraian mata
pelajaran sebagai kandungan dalam kurikulum seperti panjang pendeknya durasi
suatu pelajaran, pelajaran mana yang harus didahulukan dan diakhirkan,
pelajaran yang wajib dan yang haram dipelajari.[25]
Adapun materi pelajaran hendaknya
mengambil pelajaran baru yang dapat dihapalkan dan dipahami setelah diajarkan
oleh guru. Selanjutnya setiap harinya ditambah sedikit demi sedikit sehingga
pada suatu saat akan menjadi kebiasaan. Jika ukuran pelajaran yang diberikan
sukar dan diatas kemampuan murid, maka ia akan sukar untuk memahaminya, yang
mana ini akan mengakibatkan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, karena
ia tidak memperoleh santapan jiwa yang sesuai untuk pertumbuhan akalnya dan
untuk kemajuan.[26]
Pernyataan Az-Zarnuji diatas senada dengan pendapat pakar pendidikan modern
yang menyerukan pembawaan anak didik harus diperhatikan dan dijadikan sebagai
dasar dalam mengajar.[27]
Untuk mengimplementasikan kurikulum
secara praktis, Az-Zarnuji memberi arahan hal-hal yang harus dikerjakan,
seperti sifat wara’ atau menjauhkan diri dari dosa, dari maksiat, dari perkara
syubhat dalam belajar, pemilihan waktu belajar dan mengajar yang tepat, dan
ukuran serta batasan materi pelajaran.[28]
Bagi Az-Zarnuji, bukan masalah banyak dan sedikitnya materi, tetapi yang lebih
penting adalah materi yang yang lebih mendesak dan diperlukan (ilmu al-hal).[29]
Ini berarti, Az-Zarnuji memiliki pandangan bahwa kurikulum yang dipelajari
harus relevan, yaitu sesuai dengan kebutuhan peserta didik (murid).[30]
Hal ini sudah tentu harus disesuaikan dengan kemampuan anak didik. Oleh karena
itu, bahan yang diberikan adalah yang mudah terlebih dahulu, kemudian
ketingkatan yang lebih sukar. Ini menunjukkan, bahwa materi yang diberikan
harus sesuai dengan kematangan anak didik.[31]
Dalam ta’limul Muta’allim Az-Zarnuji
mengatakan bahwa proses belajar mengajar hendaknya dilaksanakan sesuai dengan
perkembangan jiwa seseorang. Misalnya, pada usia kanak-kanak, aktivitas
menghafal dengan cara perulangan harus diutamakan, hal ini karena pola piker
anak didik masih bersih, dan anak-anak masih cenderung untuk meniru apa yang
disampaikan oleh guru. Pada usia pendidikan menengah, anak didik mulai
dikenalkan untuk memahami apa yang diajarkan oleh guru. Mata pelajaran bukan
sekedar di hafal, tetapi juga harus difahami makna-makna yang terkandung
didalamnya. Kemudian pada tahapan berikutnya, disamping menghafal dan memahami,
anak didik juga harus aktif dan merefleksikan, serta kreatif untuk selalu
bertanya. Lebih lanjut Az-Zarnuji mengatakan bahwa bertanya itu lebih baik dari
pada menghafal selala satu bulan. Kemudian para pelajar hendaknya mencatat
pelajaran-pelajaran yang telah diberikan oleh guru.[32]
Ada beberapa hal yang perlu
digarisbawahi, yang mana berkaitan dengan atmosfir akademik dan nilai akhlak
relasi antara guru dan murid sebagaimana dalam Ta’limul Muta’allim, yaitu
pendidikan yang utama adalah berangkat dari hal-hal yang substansial, yakni
masalah akhlak. Dengan kata lain, dari masalah substansial dan esensi ini akan
melahirkan perform yang sejati.
5.
Pola
Relasi antara guru dan murid
Dalam sebuah pembelajaran hubungan
guru dan murid menempati suatu hal yang sangat penting, perlu membentuk
lingkungan yang didasari dengan keharmonisan antara guru dan murid, demi
tercapainya tujuan belajar mengajar dengan baik, karena pendidikan adalah masalah
pribadi yang perlu diperhatikan dan harus menjadi hubungan antara keduanya,
begitu juga seorang murid harus mempunyai waktu yang cukup untuk mengambil
manfaat pengetahuan dan sifat-sifat terpuji dari guru.[33]
Pola hubungan atau relasi
antara guru dan murid dalam Ta’limul Muta’allim sebagaimana dianjurkan
Az-Zarnuji adalah semacam ‘labolatorium’ pembelajaran akhlak untuk relasi yang
lebih besar. Relasi ini dijiwai oleh sifat-sifat sufi seperti tawadhu’, sabar,
ikhlas, penuh pengertian, dan saling menghormati.[34]
Dengan demikian, harus ada hubungan ruhiyah yang baik
antara guru dan murid, yaitu seperti hubungan bapak dan anak, jika seorang guru
ingin berperan sebagai seorang bapak dalam pembelajaran, maka ia harus
mempunyai sifat sempurna seperti bapak di dalam keadilan, kesabaran, mencintai
bagi semuanya, lemah lembut ketika dalam memberikan peringatan, dan semuanya
itu dilakukan atas dasar untuk membentuk suatu hubungan yang baik.[35]
Disamping itu, bahwa dalam proses
belajar dan mengajar ada hubungan yang bersifat ilmu-ilmu dasar pengajaran
antara guru dan murid, dianjurkan seorang guru didalam kegiatan pendidikan
wajib menjaga dan memperlakukan sama antara murid-muridnya.[36]
6.
Metode
pendidikan akhlak
Berkaitan dengan metode pengajaran
pendidikan akhlak, Az-Zarnuji mengemukakan tiga metode yang penting dalam
pendidikan akhlak, di antaranya adalah:
1.
Metode
pendidikan akhlak dengan nasehat
Nasehat termasuk metode pendidikan
Islam yang penting khususnya pendidikan akhlak, nasehat termasuk sebaik-baiknya
metode pengajaran sehingga Az-zarnuji memasukkan nasehat, belas kasihan, dan
menyayangi sebagai syarat yang harus dijiwai seorang guru, ini semua demi
kebaikan anak didiknya, bukan untuk menghilangkan nikmat mereka.[37]
Nasehat adalah sumber penjelasan
tentang sesuatu yang haq dan baik, dengan tujuan menjauhkan anak didik dari
kebatilan, serta menunjukkan suatu benar-benar bermanfaat, bukti nasehat yang
benar yaitu bukan untuk diri sendiri atau mencari untuk dirinya sendiri. Dengan
demikian seorang guru harus membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela
dalam melaksanakan tugas pendidikan, sehingga apa yang disampaikan guru
membekas dijiwa para anak didik.[38]
Disamping itu, metode ini memberi kesempatan luas kepada guru untuk menanamkan
kebajikan, kemaslahatan, kemajuan masyarakat dan umat manusia. Guru harus
berusaha memberi kesan yang baik dan mementingkan kemaslahatan kepada anak
didiknya, hal ini menjadikan anak didik mudah menerima nasehatnya.[39]
1.
Metode
pendidikan akhlak dengan mudzakarah (saling mengingatkan)
Selain itu, strategi pembelajaran
aktif (active learning) lain adalah yang diusung Az-Zarnuji ialah
strategi pembelajaran yang didalamnya mengandung unsur saling mengingatkan (mudzakarah).
Metode ini memuat metode tausiyah, menyerukan kepada kebaikan dan
melarang kepada kemungkaran. Maka Az-Zarnuji memberi arahan agar guru mempunyai
sifat lemah lembut dan menjaga sifat pemurah, karena tujuan metode ini ialah
menerangkan kebenaran dan kebaikan.[40]
Mudzakarah
ialah nasehat tentang kebaikan dan kebenaran dengan bentuk mengetuk hati dan
membangkitkan untuk beramal, mudzakarah juga disebut suatu janji penasehat
kepada yang dinasehati tentang makna-makna yang bisa membangunkan perasaan
untuk bersegera untuk beramal soleh, serta taat kepada Allah dengan menjalankan
perintah-Nya.[41]
Az-Zarnuji juga memberi batasan
kepada guru agar dalam mengingat kepada murid tidak melampaui batas karena
dapat menyebabkan nasehatnya tidak diterima, sebaiknya guru sebelum
menyampaikan tausiyahnya berfikir dengan cermat, memakai bahasa yang halus, dan
cara-cara yang sesuai dengan mereka. Dengan demikian akan mencapa tujuan yang
diinginkan. Az-Zarnuji juga menganjurkan kepada peserta didik menghabiskan
waktunya untuk belajar dengan sungguh-sungguh.[42]
Pada metode ini tampak bahwa Az-Zarnuji sangat menekankan akhlak guru maupun
murid.
1.
Metode
akhlak yang lebih berorientasi kepada konsep wajib dalam belajar
2.
Tujuan dan
niat belajar
Sebagaimana dikatakan oleh
Az-Zarnuji bahwa Niat adalah sangat penting dalam belajar, karena niat adalah
jiwa dari segala tingkah laku orang. Disamping itu ada pula hadits yang
mengatakan:


“Banyak sekali amal perbuatan yang bercorak
amal perbuatan duniawi, tetapi karena baiknya niat menjadi amal perbuatna
akhirat. Dan banyak sekali perbuatan yang bercorak amal perbuatan akhirat,
tetapi menjadi perbuatan dunia karena jeleknya niat”.
Lalu niat seperti apa yang harus
dimiliki oleh seorang penuntut ilmu?. Tujuan atau niat orang yang menuntut ilmu
adalah mencari keridhaan Allah Swt. dan memperoleh kebahagiaan dunia dan
akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain,
mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam serta mensyukuri seluruh nikmat
Allah Swt.
Lebih tegasnya diungkapkan bahwa
agar setiap orang yang hendak mencari ilmu atau menuntut ilmu jangan sampai
keliru dalam menentukan niat dalam belajar, misalnya belajar diniatkan untuk
mencari pengaruh, popularitas, mendapatkan kebahagiaan dunia atau kehormatan
serta kedudukan tertentu, dan lain sebagainya. Tetapi bukan berarti bahwa
manusia itu tidak boleh mengejar kenikmatan yang sifatnya duniawi.[43]
Boleh mempunyai niat untuk meraih kemuliaan, apabila dengan itu dimaksudkan
untuk kepentingan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada perbuatan baik dan
mencegah perbuatan yang tidak baik), melaksanakan yang hak dari kemuliaan
agama. Artinya bahwa keinginan mencapai kemuliaan itu bukan untuk kepentingan
dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan bersama.
Selain dara pada itu penuntut ilmu
jangan sampai merendahkan diri dengan mengharapkan memperoleh sesuatu yang
tidak semestinya, dan mencegah diri dari terlibat dalam hal-hal yang
merendahkan dan meremehkan ilmu. Harga diri hendaknya selalu dijaga. Disamping
itu dalam mencari ilmu harus tawadhu’, perlu digaris bawahi bahwa tawadhu’
adalah sifat yang ada ditengah-tengah antara sombong dan merendahkan diri.
2.
Bersikap
wara’ di waktu belajar
Az-Zarnuji menganjurkan bahwa
sekiranya bagi setiap penuntut ilmu itu bersikap wara’, karena hanya dengan
sikap wara’ tersebut ilmunya akan berguna, belajar menjadi mudah dan
mendapatkan pengetahuan yang banyak, lebih tegasnya lagi dijelaskan bahwa
diantara sikap wara’ tersebut juga menjauhkan diri dari golongan yang berbuat
maksiat dan kerusakan, perut tidak terlalu kenyang, tidak banyak tidur dan
tidak banyak bicara yang tidak ada gunanya, bahkan karena hati-hatinya
Az-Zarnuji menganjurkan agar senantiasa menghindari dari makanan dari pasar,
karena makanan pasar dikhawatirkan najis dan kotor.[44]
3.
Mengambil
faedah (al-Istifadah)
Az-Zarnuji mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan metode istifadah ialah guru menyampaikan ilmu
pengetahuan dan hikmahnya yaitu menjelaskan perbedaan antara perkara yang haq
dan bathil dengan ucapan baik, sedang menurut Az-Zarnuji murid sebaiknya
mengambil faedah sebanyak-banyak nya apa yang disampaikan oleh guru, dan sampai
dia mengatakan setiap waktu dan tempat membawa pena dan mencatat sesuatu yang
lebih baik selama ia mendengarkan guru secara terus menerus sehingga
mendapatkan keutamaan dari gurunya.[45]
4.
Tawakkal
dalam mencari ilmu
Menurut Az-Zarnuji sebaiknya sebagai
seorang guru dalam mencari ilmu pengetahuan harus menanamkan sifat tawakkal dan
tidak sibuk untuk selalu mendapatkan hal duniawi semata, karena dapat merusak
hati yang menyebabkan sulit untuk mendapatkan akhlak yang mulia. Az-Zarnuji
juga mensyaratkan agar setiap individu untuk sibuk dengan perbuatan-perbuatan
yang baik dan mementingkan urusan ukhrawi.[46]
Hal ini merupakan perilaku akhlak yang harus dijiwai karena melaksanakan
hak-hak kewajiban sesuatu akhlak yang mulia, hati yang selalu ingat kepada
penciptanya adalah dari beberapa sebab yang dianjurkan dalam tawakkal haqiqi
kepada Allah, tawakkal haqiqi ini sangat dianjurkan oleh Islam karena merupakan
zhohirnya iman dan zhohirnya akhlak.
Kesimpulan
Pendidikan akhlak yang ada dalam
kitab Ta’limul Muta’allim sebagaimana diformulasikan oleh penggagasnya yaitu
Az-Zarnuji memiliki nuansa sufistik peadagogik. Hal ini bisa dilihat pada
landasan berfikir yang dibangun dari term-term tasawuf sebagai landasan utama.
Konsep ridha, tawadhu, wara’, ikhlas dan sabar merupakan kata kunci dalam
proses pembelajaran. Konsep ini diimplementasikan dalam wilayah skala kecil
sosial (guru, murid, hubungan antara guru dan murid itu sendiri, serta dalam
kurikulum) sebagai laboratorium yang bernama pendidikan. Kemudian pendidikan
akhlak yang digunakan Az-Zarnuji adalah metode nasehat, saling mengingatkan
(tazakur), dan metode yang bersifat wajib dalam belajar (niat, wara dalam
belajar, istifadah, tawakkal dalam belajar). Konsep ini juga diaplikasikan
dalam wilayah skala kecil sosial pula, sebagai laboratorium yang dinamakan
pendidikan.
Sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pendidikan akhlak yang di gagas oleh Az-Zarnuji tidak hanya
berorientasi pada ranah ilmu pengetahuan dan keterampilan, akan tetapi lebih
dari pada itu, yaitu menggabungkan antara ilmu pengetahuan (intellectual),
keterampilan (skill) dan nilai (value), dengan adanya sistem value
ini kita tidak menjadikan guru hanya sebagai “pentransfer ilmu” layaknya robot,
dan siswa sebagai “penerima” layaknya robot pula, dan akhirnya menjadi suatu
tatanan “mekanis” bagai mesin. Akan tetapi lebih menjadikan mereka sebagai
manusia utuh, dan akan melahirkan aktor-aktor intelektual yang berwawasan,
serta mampu menghiasi kehidupan dengan keharmonisan dan ketentraman yang
berlandaskan pada akhlak mulia.
[1] Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam
Darussalam (ISID) Gontor, Ponorogo. Angkatan ke-V.
[2] Syekh Ibrahim bin Isma’il, Syarh Ta’lim al-Muta’allim
‘ala Thariiqa Ta’allum, (Semarang: Karya Toha Putra), hal. 3.
[3] Banyak ilmuan menggunakan worldview sebagai
framework kajian, misalnya Ninian Smart menggunakan untuk mengkaji agama, Syed
Muhammad Naquib al-Attas, al-Maududi, Sayyid Qutb, digunakan dalam menjelaskan
konsep Islam, Alparslan Acikgence memakainya untuk mengkaji sains, Atif Zayn
memakainya untuk perbandingan ideologi, Thomas F. Wall untuk mengkaji filsafat,
dan Thomas Kuhn dengan konsep paradigmanya menggunakan worldview dalam
mengkaji sains. Menurut Ninian Smart sebagaimana yang dikutip oleh Hamid Fahmy
Zarkasyi, worldview sendiri dimaknai sebagai kepercayaan, perasaan dan
apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang berfungsi sebagai motor bagi
keberlangsungan dan perubahan sosial serta moral. Selain itu secara filosofis, worldview
menurut Thomas F. Wall sebagai system kepercayaan, ada yang integral
tentang hakikat diri, realitas tentang makna eksistensi. Sedangkan dalam
aktivitas sains, hakikat worldview juga dapat dikaitkan dengan konsep
paradigma Thomas Kuhn. Lihat dalam Hamid Fahmy Zarkasyi dkk. Membangun Peradaban
dengan Ilmu, edtr. Tri Shubhi, (Jakarta: Kalam Indonesia, 2010), hal.
141-143.
[4] Menurut Chabib Thoha, persoalan baik atau tidaknya manusia,
adalah persoalan nilai, tidak hanya persoalan fakta dan kebenaran ilmiah
rasional, akan tetapi menyangkut masalah penghayan dan pemaknaan yang lebih
afektif dari pada kognitif. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Sidi Gazalba
tentang pengertian nilai, adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, bukan
benda kongkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar-salah yang menuntut
pembukitan empiris, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan yang tidak
dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi. Lihat, Chabib Thoha, Substansi
Pendidikan Islam (Kajian Teoritis dan Antisipatip Abad XXI), (Banjarmasin:
IAIN Antasari Banjarmasin, 1997), hal. 65-66.
[5] Az-Zarnuji mempunyai nama lengkap yaitu Burhan al-Islam.
Nama Burhan al-Islam dan Burhanuddin dinisbatkan kepada kepada daerah Zarnuj,
yaitu suatu tempat yang menurut Al-Qurasyi dalam kitabnya Al-Jawahir
Al-Mudhi’ah, terbilang kepada negeri Turki, tetapi Yaqut dalam kitabnya Mu’jamul
Buldan, menyatakan dari daerah Wara’an Nahr, Turkistan. Sedangkan menurut
Plessner, seorang orientalist dalam The Encyclopedia of Islam (Al Mausu’ah
Al Islamiyah Lil Mustasyriqin) mengatakan bahwa Az-Zarnuji adalah ahli
filsafat tidak terkenal, dan tidak diketahui kapan dia hidup, kecuali dengan
perkiraan saja. Menurutnya Az-Zarnuji adalah orang Arab, hidup antara abad
ke-12 dan abad ke-13. Disamping dia sebagai ulama fiqih, Az-zarnuji juga sangat
menekuni ilmu dalam bidang pendidikan. Menurut Muhammad Abdul Qadir Ahmad, dia
berkesimpulan bahwa Az-Zarnuji hidup pada abad ke-6 dan permulaan abad ke-7
Hijrah. Dan wafatnya antara tahun 593-620 Hijrah. Itulah waktu yang namanya
terkenal dan karangannya menjadi masyhur.Lihat, Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Ta’limul
Muta’allim Thariqa al-Ta’allum, (Mesir: Kairo University, 1986), hal. 10.
[6] Fasl kesatu, memuat tentang pengertian ilmu, fiqih dan
keutamaannya; kedua, tentang niat dalam belajar; ketiga, tentang memilih ilmu,
guru, teman, dan tentang ketabahan (sabar) dalam menuntut ilmu; keempat,
tentang penghormatan terhadap ilmu dan ‘ulama; kelima, tentang ketekunan,
kontinuitas, dan minat dalam menuntut ilmu; keenam, tentang permulaan belajar,
kuantitas dan tertib dalam menuntut ilmu; ketujuh, tentang tawakkal kepada
Allah; kedelapan, tentang waktu belajar; kesembilan, tentang kasih saying dan
nasehat; kesepuluh, tentang cara mencari faidah (istifadah); kesebelas,
tentang menjauhi perbuatan maksiat; keduabelas, tentang hal-hal yang
menyebabkan mudah menghafal dan menyebabkan mudah lupa; ketigabelas, tentang
hal-hal yang memudahkan memperoleh rizki dan hal-hal yang menghalanginya,
tentang hal-hal yang menambah umur dan yang menguranginya. Lihat, A. Mukti Ali,
Az-Zarnuji dan Imam Zarkasyi dalam Metodologi Pendidikan Agama, dalam
buku Biografi K.H. Imam Zarkasyi di Mata Ummat, (Ponorogo: Gontor Press,
1996), hal. 910. Lihat juga Aliy As’ad, Terjemah Ta’limul Muta’allim,
Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, (Kudus: Menara Kudus, 2007), hal.
3.
[7] Syekh Ibrahim bin Isma’il, Syarh Ta’lim al-Muta’allim
‘ala Thariiqa Ta’allum, (Surabaya: Al-Hidayah), hal. 1.
[8] Al-Imam Burhan al-Islam Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim
‘ala Thariiqa Ta’allum, (Surabaya: Al-Hidayah Bankul Indah, 1367 H), hal.
5.
[9] Khalid bin Hamid al-Hazimi, Ushulu at-Tarbiyah
al-Islamiyyah, (Madinah Munawwarah: Daarul ‘Alam al-Kutub, 2000), hal. 136.
[11] Asal kata dari كَبِرَ- كِبَراً- تَكَبَّرَ- تَكاَبَرَ-
اِسْتَكْبَرَ artinya sombong, congkak. KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir A.
Fatah, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hal. 624.
[12] Asal kata dari وَضَعَ- يَضَعُ- وَضْعاً- التَّواَضُعُ
artinya rendah diri atau merendahkan diri. KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir A.
Fatah, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hal. 780.
[13] العِفَّةُ bisa diartikan dengan menjauhkan diri dari
perbuatan yang tidak baik, atau menjaga kesucian dari hal-hal yang tidak baik.
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, kamus karabyak al-‘Ashri (Kamus Krapyak
Kontemporer Arab-Indonesia), (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1998), hal 1032.
[17] وَرَعَ _َ وَرْعاً- وُرُوْعاً Artinya menjauhkan diri dari
dosa, dari maksiat, dari perkara syubhat, atau menahan diri dari perbuatan
dosa, maksiat dan syubhat. KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir A. Fatah, Kamus
Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hal. 624.
[19] M. Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan
Islam, Terj. Syamsuddin et.al. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press), hal. 45.
[21] Op Cit., Al-Imam Burhan Al-Islam Az-Zarnuji, hal.
16. Bandingkan dengan A. Mudjab Mahali dan Umi Mujawazah Mahali, Kode Etik Kaum
Santri, hal. 31-33.
[24] H. M. Arifin, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1991), hal. 84., bandingkan juga dengan M. Zein, Asas-Asas dan
Pengembangan Kurikulum, (Yogyakarta: Sumbangsih Offset, 1991), hal. 3.
[27] M. Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan
Islam, Terj. Syamsuddin et.al. (Yogyakarta: Titian Ilahi Press), hal. 190.
[29] A. Mukti Ali, Az-Zarnuji dan Imam Zarkasyi dalam
Metodologi Pendidikan Agama, dalam buku Biografi K.H. Imam Zarkasyi di
Mata Ummat, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), Hal. 943.
[31] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Dasar-Dasar dan
pengembangannya, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 101-102.
[33] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 125.
[35] M. Athiyah Al-Abrasyi, Ruuhu at-Tarbiyah wa- Ta’lim,
(Arabiyah: daar al-Ihya kutub al-Arabiyah), hal. 212.
[38] Abdurrahaman An-Nawawi, Usul at-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Asalabiha fi al-Baiti wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Bairut: Darul Fikr,
1979), hal. 12.
[42] Syeh Ibrahim bin Ismail, Syarh Ta’limul Muta’allim ‘ala
Tariqa Ta’allum, (Surabaya: al-Hidayah), hal 30.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar