Fazlur Rahman
Cecep Ramli B.A.
Fazlur Rahman dilahirkan pada tahun
1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam keluarga yang
bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling rasional di antara
madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke
dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak benua ini
terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah,
Sir Sayyid Ali dan Iqbal.
Sejak kecil sampai umur belasan
tahun, selain mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba banyak ilmu
tradisional dari ayahnya–seorang kyai yang mengajar di madrasah tradisional
paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. [1]
Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam keluarga muslim yang amat religius.
Ketika menginjak usia yang
kesepuluh, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. [2] Ia
juga menerima ilmu hadis dan ilmu syariah lainnya. Menurut
Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional pada umumnya, ayahnya adalah
seorang kyai tradisional yang memandang modernitas sebagai tantangan yang perlu
disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif terhadap pendidikan modern.
Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu
dasar tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya.
Selain itu, latar sosial anak benua
Indo-Pakistan yang telah melahirkan sejumlah pemikir Islam liberal, seperti
disinggung di atas, juga merupakan benih-benih dari mana pikiran liberal
Rahman dan skeptisisme Rahman tumbuh. Misalnya, Rahman sangat apresiatif
terhadap pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam pembahasannya mengenai wahyu
ilahi dan nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya merupakan
kelanjutan dari pemikiran pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad
Iqbal:
Dengan demikian, argumen saya
tentang kemapanan karakter wahyu Al-Qur’an terdiri dari dua bagian. Dalam
bagian Pertama, saya telah menyetujui—dan tidak berbuat lebih lagi
terhadap—pernyataan-pernyataan syah wali Allah dan Muhammad Iqbal yang
menerangkan proses psikologis wahyu.[3]
Pendidikan dan Pengalaman
Setelah menamatkan sekolah menengah,
Rahman mengambil studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran pada
Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil menyelesaikan studinya di
Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra Arab. Merasa tidak
puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan studi
doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih gelar doktor filsafat
pada tahun 1951.
Pada masa ini seorang Rahman giat
mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling
tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki,
Persia, Arab dan Urdu.[4] Ia
mengajar beberapa saat di Durham University, Inggris, kemudian menjabat sebagaiAssociate
Professor of Philosophy di Islamic Studies, McGill University, Kanada.
Sekembalinya ke tanah air,
Pakistan, pada Agustus 1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute
of Islamic Research.Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory
Council of Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga
Islam tersebut bertujuan untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan
ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang
progresif.
Sedangkan Dewan Penasehat Ideologi
Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun belum ditetapkan,
dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua
lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta
lembaga riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai
rancangan undang-undang.[5]
Karena tugas yang diemban oleh kedua
lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk
menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu saja gagasan-gagasan liberal
Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan
dari kalangan ulama tradisionalis dan fundamentalis di Pakistan.
Ide-idenya di seputar riba dan bunga
bank, sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai
kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah
meledakkan kontroversi-kontroversi berskala nasional yang berkepanjangan.
Bahkan pernyataan Rahman dalam karya magnum opusnya,Islam,
bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan—dalam
pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”, telah menghebohkan
media massa selama kurang lebih setahun.
Banyak media yang
menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya,
menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak kontroversi
ini adalah demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes
terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya
dari jabatan Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku
anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969.
Akhirnya, Rahman memutuskan hijrah
ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam kajian Islam dalam segala
aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages and Civilization,
University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap
menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.
Karya-karyanya
Dari selintas perjalanan hidup
Fazlur Rahman di atas, Taufik Adnan Amal membagi
perkembangan pemikirannya ke dalam
tiga babakan utama, yang di dasarkan pada
perbedaan karakteristik karya-karyanya: (I) periode awal (dekade 50-an);
periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago (dekade 70-an dan
seterusnya).[6]
Ada tiga karya besar yang disusun
Rahman pada periode awal:Avicenna’s Psychology (1952); Avicenna’s
De Anima (1959); danProphecy in Islam: Philosophy and
Orthodoxy (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan dan suntingan
karya Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas perbedaan doktrin
kenabian antara yang dianut oleh para filosof dengan yang dianut oleh
ortodoksi.
Untuk melacak pandangan filosof,
Rahman mengambil sampel dua filosof ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina
(980-1037). Secara berturut-turut, dikemukakan pandangan kedua filosof tersebut
tentang wahyu kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis
atau imaninatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syariah.
Untuk mewakili pandangan ortodoksi,
Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah
dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah kesepekatan aliran ortodoks dalam
menolak pendekatan intelektualis-murni para filosof terhadap fenomena
kenabian. Memang, Kalangan mutakallimuntidak begitu keberatan
menerima kesempurnaan intelektual nabi. Tapi mereka lebih menekankan
nilai-nilai syariah ketimbang intelektual.
Rahman sampai pada kesimpulan bahwa
tidak ada perbedaan mendasar antara posisi filosofis dan ortodoksi. Sebab,
perbedaan ada sejauh pada tingkat penekanan saja. Menurut para filosof, nabi
menerima wahyu dengan mengidentifikasikan dirinya dengan Intelek Aktif;
sementara menurut ortodoksi nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan
dirinya dengan malaikat.
Sementara para filosof lebih menekankan
kapasitas alami nabi sehingga menjadi “nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka
meraup karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak, pandangan ini cukup
mempunyai pengaruh terhadap pandangan Rahman tentang proses “psikologis” nabi
menerima wahyu. Seperti halnya teori para filosof dan kaum ortodoks, Rahman
berteori bahwa Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.[7]
Pada periode kedua (Pakistan), ia
menulis buku yang berjudul:Islamic Methodology in History (1965).
Penyusunan buku ini bertujuan untuk memperlihatkan: (I) evolusi historis
perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran Islam—Al-Qur’an,
Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan (ii) peran aktual prinsip-prinsip ini
dalam perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis Rahman
pada periode kedua ini adalah Islam, yang menyuguhkan—meminjam istilah Amin
Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap perkembangan Islam selama empat belas
abad. Buku ini boleh dibilang sebagai advanced introduction tentang
Islam.
Pada periode Chicago, Rahman
menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major
Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and
Modernity:Transformatioan of an intellektual tradition (1982).
Kalau karya-karya Rahman pada
periode pertama boleh dikata bersifat kajian historis, pada periode kedua
bersifat hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka karya-karya pada
periode ketiga ini lebih bersifat normatif murni. Pada periode awal dan kedua,
Rahman belum secara terang-terangan mengaku terlibat langsung dalam arus
pembaruan pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman mengakui dirinya,
setelah mebagi babakan pembaruan dalam dunia Islam, sebagai juru bicara
neomodernis.
Membuka Pintu Ijtihad
Temuan historis Rahman mengenai
evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’),
dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang
dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di
Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting
lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung ijtihadnya.
Dalam kajian historisnya ini, Rahman
menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas
ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad
personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal nabi
SAW yang kemudian menjelma menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup.
Di sini, secara tegas Rahman menarik
garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah
hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma’
pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis,
kreatif dan berorientasi ke depan.[8] Namun
demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang
dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’
tersebut, proses ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad.
Akibatnya, ijma’ yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur
ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak
dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke
empat Hijrah atau sepuluh masehi.[9]
Berpijak pada temuan historis ini,
Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun
pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail,
dan ijtihad fil madzhab. Rahman mendobrak doktrin ini
dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa ijtihad
bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat muslim;Kedua (2),
menolak kualifikasi ganjil mengenai ilmu gaib misterius sebagai
syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah
ijtihad klasik.
Hasilnya adalah satu kesimpulan
Rahman: ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka
dan tidak pernah tertutup.[10] Tetapi,
Rahman pun tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah
dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi
tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang,
serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah
upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang.
Untuk mencegah ijtihad yang
sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman
mengajukan metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago.
Dan dalam konteks inilah metodologi tafsir Rahman yang dipandangnya
sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an” atau
“ the correct methode of Interpreteting The Qur’an” [11] memainkan
peran sentral dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman
merupakan jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta
bahwa Al-Qur’an sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi
adalah didasarkan pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syariah harus
diperiksa dibawah sinaran bukti Al-Qur’an:
Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi
sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran
Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus dilakukan. [12]
Akan tetapi, justru
persoalannya terletak pada kemampuan kaum muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an
secara benar. Rahman menegaskan:
bukan hanya kembali kepada Al-Qur’an
dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, tetapi suatu pemahaman
terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita dewasa
ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang kubur.
Dan ketika kita kembali kepada generasi muslim awal ,pasti kita temui pemahaman
yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.[13]
Tujuan Metodologi Tafsir
Pandangan Rahman mengenai Al-Qur’an
merupakan landasan bagi perumusan metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu
adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, menurut Rahman,
merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun yang
bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama saja). Karena itu, Rahman
memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan kemapanan karakter wahyu
dari Al-Qur’an ini. Rahman mengutip kembali apa yang telah ditulisnya dalam
Islam:
Bagi Al-Qur’an sendiri, dan
konsekwensinya juga bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah.
Muhammad juga dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari
Tuhan, yang sepenuhnya lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar
kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani
mengenai Ibrahim dan nabi-nabi lainnya.[14]
Konsepsinya mengenai Al-Qur’an
secara sederhana dapat dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai berikut:
- Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[15]
- Al-Qur’an adalah respon ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, terhadap situasi moral-sosial arab pada masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada waktu itu. [16]
- Karenanya, semangat atau elan vital Al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah. [17] Al-Qur’an terutama sekali adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen legal. karenanya, keabadian kandungan legal spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip moral yang menasarinya, bukan pada ketentuan-ketentuan harfiahnya.
- Al-Quran merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu.
- Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian utama Al-Qur’an adalah perilaku manusia.[18] Karenanya ia lebih berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi intelektual.
- Tetapi, di atas segalanya, dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh darinya terendam di bawah permukaan air sejarah dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat menolak kenyataan bahwa sebagian besar Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai situasi-situasi kesejarahan yang baginya pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan solusi-solusi, komentar-komentar dan respon. [19]
Sampai pada titik ini, Rahman
menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu
telah terkubur dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses
reifikasi yang begitu panjang. Hal ini merupakan harga yang harus
dibayar (cost) dari perluasan wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa
diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu,
metodologi yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus
endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam.
Dengan demikian, dapat pahami
bahwa tujuan metodologi tafsir bagi Rahman adalah untuk
menangkap kembali pesan moral universal Al-Qur’an yang
obyektif itu, dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada
paksaan dari luar dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian.
Misalnya, dalam masalah hukum, bagi Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk
menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan
formal Qur’an. Untuk inilah Rahman sering menyebut-nyebut kasus ijtihad
Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden baik (uswah) untuk
mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-niali umum yang berada di bawah
permukaan Sunah dan bahkan teks Al-Qur’an.
Metodologi Tafsir
Metodologi tafsir Rahman tidak bisa
lepas dari agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan
terlebih dahulu pandangannya mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang
muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan ke dalam
empat gerakan. Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada
abad ke 18 dan 19 di Arabia, India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara
orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan reaksi terhadap barat.
Gerakan ini secara sederhana
mempunyai ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral
umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan
memberantas takhayul-takhayul dan dengan membuka dan melaksanakan
ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan untuk
melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar pembaruan
revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh gerakan kedua,
modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah
pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini untuk
memperluas isi ijtihad—dan juga agenda gerakan—seperti isu tentang hubungan
akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama pada bidang pendidikan dan
status wanita, pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif
dan konstitusional.
Jasa modernisme klasik ini adalah
usahanya untuk menciptakan hubungan harmonis antara pranata-pranata barat
dengan tradisi Islam dalam kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,
penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan
metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan
membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak
bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai
gerakan antek-antek barat yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari
dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme klasik
ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis,
yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik
individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis pemikiran
modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan
dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis dan tidak
otentik.
Di sela-sela pengaruh neorevivalisme
inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru
bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan mendasar modrnisme klasik
ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari neorevivalisme. Pertama,
karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, gerakan ini
tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis dan menyeluruh terhadap
Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an lebih bersifatad hoc dan
parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal dari dan dalam
dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen
westernisasi.
Menurut Rahman, neomodernisme harus
mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat maupun terhadap khazanah klasik
warisan Islam. Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling
mendasar dari kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi
yang tepat dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi
masa depannya. Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang
ditawarkannya dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan
sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi sebelumnya.[20]
Metodologi tafsir Fazlur Rahman
merupakan gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari dua gerakan ini
terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami arti atau makna
suatu pernyataan Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi
atau problem historis dari mana jawaban dan respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui
makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya, tentu saja,
menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi
makro dalam batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan
lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam
datang.
Langkah kedua dari gerakan pertama
ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik,
pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat
disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis
dan rationes logis yang juga kerap dinyatakan oleh ayat
sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an
sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap hukum yang
disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama lain.
Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an
sendiri bahwa ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara
keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan
terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman, sampai sekarang
sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an secara
keseluruhan.
Bila gerakan yang pertama
mulai dari hal-hal yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan
nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum
ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam
kehidupan sekarang. Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat
atas situasi sekarang sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai
dengan priortitas-prioritas moral tersebut.
Apabila kedua momen gerakan ini
ditempuh secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif
kembali. Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam
pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun
kerja rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen gerakan kedua ini juga berfungsi
sebagai alat koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap hasil-hasil dari
penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka
tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam memahami Al-Qur’an maupun dalam
memahami situasi sekarang.[21]
Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah
direalisasikan ke dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam konteks sekarang
tidak bisa.
Gerakan ganda ini, digambarkan
oleh Taufik Andnan Amal dengan tiga langkah metodologis utama: (a) pendekatan
historis untuk menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan
perjuangan nabi; (b) pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan Al-Quran; (c)
pemahaman dan penetapan sasaran Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya
latar sosiologis. Berkaitan dengan butir pertama, Rahman mengungkapkan:
Suatu pendekatan historis yang
serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks
Al-Qur’an…Pertama-tama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan historisnya.
Mengawali dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal
akan memberikan suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar
gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun
belakangan. Dan demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an
sepanjang karir dan perjuangan nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas
makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.
Mengenai pembedaan antara
ketetapan legal dan tujuan moral Al-Qur’an, Rahman menulis:
Kemudian seseorang telah siap untuk
membedakan antara ketetapan legal dan sasaran Al-Qur’an, dimana hukum
diharapkan mengabdi kepadanya. Di sekali lagi seseorang berhadapan dengan
bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi seminimum mungkin dengan
menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu sering diabaikan baik oleh
kalangan non-muslim maupun muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya memberikan
alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal spesifiknya.
Mengenai butir ketiga, Rahman
menulis:
Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan
ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian sepenuhnya terhadap latar
sosiologis—yakni lingkungan dimana nabi bekerja dan bergerak.
Catatan Kaki
[1]Taufik
Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran
Hukum fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1996), h. 79-80.
[2]Fazlur
Rahman, “Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan Otobiografis”,
dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah 1412-Rabi’ Al-Awwal
1413/Juli-Oktober 1992, h. 59.
[3]Fazlur
Rahman, Metode dan alternatif…, op. cit., h. 43.
[4]Taufik
Adnan Amal, Op. Cit., h. 81.
[5]Taufik
Adnan Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini”,
dalam Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif…, h. 13-14.
[6]Taufik
Adnan Amal, Op. Cit., h. 112.
[7]Ibid,
h. 116. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,
1996), h. 116.