Beda Kiai
Rendah Hati dan Ustaz Televisi
Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Di kampung saya, ada seorang kiai
yang cukup dikenal. Sebut saja namanya Kiai Hamdan. Ia adalah kiai kampung yang
sehari-harinya bergelut dengan lumpur, pacul, kitab, ceramah, membersamai
keluarga orang yang meninggal sampai melayani tamu dengan hajat bermacam-macam.
Ia jauh dari media, baik koran,
media sosial apalagi televisi. Jauh dari kota dan “pusat peradaban”. Meski
begitu, beliau memiliki kearifan yang kadang tidak dimiliki para pendakwah
sekarang.
Suatu ketika, Kiai Hamdan diminta
mengisi ceramah tentang Isra’ Mi’raj Kanjeng Nabi Muhammad saw. Ia menyampaikan
peristiwa yang tak masuk akal itu secara perlahan, sesekali menyelinginya
dengan syair dan shalawat. Di antara syair yang masih saya ingat adalah sebagai
berikut:
Isro’ Mi’roj Kanjeng Nabi (Isro’ Miraj Baginda Nabi Muhammad)
Tindake ing wayah bengi (Berangkatnya di waktu malam)
Di dereake moloekat loro (Diikuti dua malaikat)
Jibril Mikail Asmane (Jibril dan Mikail namanya)
Tindake ing wayah bengi (Berangkatnya di waktu malam)
Di dereake moloekat loro (Diikuti dua malaikat)
Jibril Mikail Asmane (Jibril dan Mikail namanya)
Reff*
Shalatullah salamullah – ‘ala thoha
Rosulillah
Shalatullah salamullah – ‘ala yasiin habibillah
Tindak ipun wanci ndalu ( berangkatnya di waktu malam)
Dumugi nginggil langit sap pitu (sampai di atas langit sap tujuh)
Akhiripun nampi wahyu (sampai akhirnya mendapat wahyu)
Shalat wajib limang wektu (salat wajib lima waktu)
Shalatullah salamullah – ‘ala yasiin habibillah
Tindak ipun wanci ndalu ( berangkatnya di waktu malam)
Dumugi nginggil langit sap pitu (sampai di atas langit sap tujuh)
Akhiripun nampi wahyu (sampai akhirnya mendapat wahyu)
Shalat wajib limang wektu (salat wajib lima waktu)
Usai mendendangkan syair, Kiai
Hamdan meminta seluruh hadirin menyanyikannya secara koor, beramai-ramai dan
bersalawat bersama-sama. Kemudian secara perlahan, kiai kampung ini mengurai
peristiwa 14 abad silam itu.
“Dalil Isra’ Mi’raj adalah bahwa
Kanjeng Nabi semur hidupnya tidak pernah berbohong,” tuturnya. Hadirin
mendengarkan dan larut dalam ceramah, seakan mendapat kedamaian dari suatu
pemahaman yang mudah.
Jika ditelisik lebih dalam, Kiai
Hamdan adalah seorang pengembara ilmu. Semasa mudanya, ia pindah dari satu
pesantren ke pesantren lain. Koleksi dalil al-Quran maupun hadisnya pun cukup banyak
untuk dicekokkan ke jamaahnya. Namun hal itu tidak beliau lakukan. Ia cukup
menyampaikan beberapa potong dalil saja.
Selebihnya, ia menyampaikan dengan
bahasa kaumnya, bahasa masyarakat Jawa yang lekat dengan syair, tembang dan
sedikit humor. Ia masuk ke jiwa-jiwa jamaah, menyelami keseharianya,
masalahnya, pengalamannya dan kebutuhan riilnya, tidak melangit.
Kiai kampung ini, berbeda sedikit
dengan beberapa ustadz yang akhir-akhir ini marak di media, khususnya televisi.
Berbekal terjemahan al-Quran Depag atau kitab terjemahan Hadits di toko-toko,
mereka mengguyur penonton dengan hujan dalil dan banjir ayat yang memusingkan.
Kadang malah ceramah sambil
marah-marah, mencaci dan menyesatkan sesama Islam maupun non-Islam, tanpa
perasaan. Mereka enggan menyelami jiwa jamaah, seperti yang dilakukan oleh Kiai
Hamdan.
Sudah barang tentu, tak ada waktu
untuk membungkus ajaran agama dengan kearifan lokal (local wisdom),
membikin syair atau cerita. Mirisnya lagi, ceramah-ceramah mereka justru
menyulut kebencian dan permusuhan. Benar-benar edan!
Namun, saya tetap sayang dengan
mereka semua, sebagai sesama muslim, juga sesama manusia. Mungkin mereka
terlalu bersemangat. Mungkin pula tidak tahu metodologi dakwah di nusantara.
Atau mungkin mereka mengimpor ajaran
dari Timur Tengah dan Saudi Arabia secara mentah-mentah. Apapun itu, mereka
masih hidup dan punya kesempatan untuk berubah, menuju semangat beragama yang
lebih cerah.
Toh saya yakin, masyarakat Indonesia kini sudah cerdas.
Orang awam pun kini sudah bisa menilai, mana yang layak mereka teladani dan
tidak. Orang sudah bisa membedakan mana dakwah yang arif dan cerdas, sehingga
mereka berminat untuk mendengarnya.
Dan untungnya lagi, masih ada
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang berdakwah dengan teduh: menjaga
kesantunan Islam dengan wajah Indonesia.
KH Mustofa Bisri (Gus Mus) misalnya,
ia kerapkali mengkritik cara dakwah yang cenderung menyesatkan.
“Dakwah itu mengajak yang belum
masuk dalam jalan kebenaran. Ibarat manol bus, mengajak penumpang masuk bus:
merayu dan meladeninya. Sekarang, malah banyak pendakwah yang menyesatkan, itu
ibarat manol bus yang menyesat-nyesatkan calon penumpang,” kata sesepun NU itu,
dalam suatu pengajian baru-baru ini.
Ada juga yang berdakwah dengan
modern dan segar, yaitu Majelis Maiyah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dan Kiai
Kanjeng dengan jamaahnya yang tersebar di berbagai kota dan pelosok Indonesia,
bahkan mancanegara.
Cak Nun, begitu orang menyebutnya,
menggabungkan unsur modern dengan konvensional dalam berdakwah, serta interaktif
dan komunikatif dengan jamaah.
Ia seakan mencontoh dakwah para wali
di bumi nusantara: dengan sentuhan seni dan budaya. Wajarlah kalau dalam
berbagai kesempatan, jamaahnya kuat duduk berjam-jam tanpa berpindah, bahkan
ketika hujan turun sekalipun.
Akhirnya, kearifan Kiai Hamdan serta
beberapa pendakwah yang santun dalam menyampaikan dakwah, tetaplah menjadi akar
yang kuat, meski tidak muncul dalam dunia entertaint yang gemerlap dan bertabur
bunga.
Akar seberharga bunga, hanya saja ia
sudah mengikhlaskan diri untuk menyuplai sari-sari makanan bumi kepada bunga
dan apa saja yang melingkupinya.
Saya kira, orang seperti Kiai Hamdan
ini ribuan jumlahnya, tersebar di seantero Nusantara. Kita saja yang tidak
tahu, dan media yang enggan membesarkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar